Saya sendiri sudah lama menyimpan tulisan ini, mungkin hampir 4 bulan yang lalu. Saya juga lupa mengapa saya beri judul kanan dan kiri. Tapi tidak ada salahnya berbagi, karena saya rasa ini bukan berita yang hanya berlaku untuk satu hari saja, bisa dibaca kapanpun. Sambil minum kopi atau minum teh. :D
Sangat menarik artikel yang saya baca di harian seputar indonesia ysng ditulis oleh seorang Guru Besar Fakultas Psikologi UI. Artikel tersebut berjudul dari timur ke barat. Dari keseluruhan artikel tersebut yang menarik adalah menyoal perbedaan antara Timur dan Barat. Artikel tersebut juga memberikan contohnya, Yang membedakan Barat dan Timur adalah cara berpikirnya. Gerard Hendrik Hofstede,seorang sosiolog Belanda, pernah mengadakan penelitian di sebuah perusahaan multinasional yang punya cabang di berbagai negara Barat (Eropa Barat dan Amerika Utara) dan Timur (Asia dan Amerika Latin), dan menemukan empat perbedaan antara para pegawai di Barat dan di Timur. Pertama,orang Barat lebih individualis, sedangkan orang Timur kolektivis (CEO Amerika memutuskan sendiri,sedangkan CEO Jepang perlu rapat dulu berkalikali). Di Timur jarak kekuasaan (power distance) lebih kuat ketimbang di Barat (di Indonesia staf harus menghadap pimpinan untuk melapor,di Barat cukup melalui telepon). Perbedaan ketiga adalah bahwa orang Barat lebih maskulin (kompetitif, ambisi, prestasi), sementara di Timur orang lebih feminin (jaga hubungan baik,jaga perasaan orang,dan tidak boleh terlalu terbuka). Akhirnya, kata Hofsetede, orang Barat lebih berani ambil risiko dalam ketidakpastian ketimbang orang Timur.
Hampir semua orang pernah merasakan perbedaan ini, terutama mereka yang bergaul dengan komunitas timur maupun barat. Menyoal power distance, saya sebagai mahasiswa sering mengalaminya. Beberapa dosen (banyak) yang tidak ingin di-sms oleh mahasiswanya, dosen tersebut hanya mau menjawab telepon jika mahasiswa butuh bertemu dengannya. Dosen seolah-olah tidak paham bahwa kantong mahasiswa terbatas. Untuk sms saja, masih harus minta kanan-kiri, apalagi telepon. Mereka seolah-olah “Gila hormat” kata para mahasiswa. Oleh karena power distance yang tinggi tersebut, terkadang mahasiswa enggan berdekatan dengan dosen, fenomena unik ini dapat dilihat saat berada di lift. Jika lift cukup kosong, mahasiswa akan memilih berdiri jauh dari dosennya, baik yang sudah dikenal apalagi yang belum. Mahasiswa masih harus tegur sapa saat bertemu dosen, setidaknya menundukkan kepala sekedar menunjukkan rasa hormat. Mungkin itulah salah satu kelebihan Timur, rasa hormat masih dijunjung tinggi. Adalagi peraturan tidak tertulis bahwa mahasiswa dilarang duduk-duduk di kursi lobby yang empuk itu. “Memang kalian tamu, duduk-duduk disana” kata salah satu dosen. “.....” kata mahasiswa. Semoga hal tersebut tidak terjadi di universitas lain.
Sayangnya, hal itu (mahasiswa yang ......) terbawa hingga perkuliahan, sehingga cukup jarang mahasiswa yang menentang pendapat dosennya, demi menjaga rasa hormat dan aman. Mahasiswa akan merasa aman dalam hal nilai apabila ia cari aman dengan dosennya, angguk-angguk kepala saja.
Mungkin hal yang telah saya paparkan tersebut tidak berlaku disemua universitas. Dosen yang mengajar di universitas yang berbeda pun mengakui perbedaan tersebut. Tetapi saya rasa, sebagus dan seterbuka apapun universitasnya, pasti ada dosen model semacam itu. Memang perlu diteliti lebih lanjut mengenai hal tersebut. Adakah yang berminat untuk menelitinya, bagaimana fenomena power distance ini berlangsung, yah mulai dari contoh terkecil yaitu keseharian kita? Pertanyaannya apakah power distance yang jauh dapat dibenarkan atas nama sopan santun?