Sabtu, 13 Februari 2016

Book Review: I Am Malala




Sudah lama saya menunggu versi bahasa Indonesia dari buku ini setelah beberapa kali membaca review tentang buku ini dalam bahasa Inggris. Saya tahu bahwa ini buku yang bagus sekali sehingga saya tidak mau kehilangan alur ceritanya jika membaca dalam versi bahasa Inggris karena mungkin akan melewati beberapa kata atau frase yang tidak saya mengerti. Inilah buku dengan setting favorit saya, wilayah Pakistan-Afghanistan, daerah konflik namun memilki alam yang indah memukau. Sangat disayangkan bahwa daerah ini menjadi daerah konflik berkepanjangan. Namun, saya selalu kagum dengan cara orang Pashtun bercerita. (Pashtun: suku etnik yang mendiami wilayah Pakistan-Afghanistan). 

Cerita ini adalah kisah nyata tentang Malala, seorang gadis kecil yang memperjuangkan haknya untuk memperoleh pendidikan. Pada masa tersebut, kaum militan menduduki wilayah Pakistan, mereka mencabut hak wanita untuk mendapatkan pendidikan. Kaum Militan yang dikenal dengan Taliban telah menciptakan teror di wilayah tersebut. Pendidikan adalah hal yang “mahal” bagi kaum wanita karena mereka seharusnya tetap tinggal di rumah dan tidak keluar tanpa ditemani muhrimnya. Namun, tidak dengan Malala, gadis ini berapi-api. Ia senang belajar dan bermain di sekolah yang didirikan ayahnya. Ia akan tetap sekolah meskipun dengan ancaman peluru.

Buku ini adalah gabungan cerita tentang sejarah, politik, konflik, dan keteguhan prinsip serta keberanian. Ketegangan konflik serta perang berhasil digambarkan dengan baik dalam buku ini. Kita beruntung sekali mendapatkan cerita tentang konflik tanpa harus mengalami sendiri, keadaannya sungguh mencekam, banyak hal yang harus dikorbankan dalam perang. Kebebasan mengemukakan pendapat, pendidikan, bahkan setiap langkah kaki yang kita lalui adalah taruhan nyawa. Malala seorang gadis periang yang cerdas dan baik hati. Buku ini menggambar sosok dirinya yang kuat dan teguh pendiriannya. Kecerdasannya dalam berbicara telah membuka hati jutaan orang di dunia terhadap kondisi yang terjadi di Pakistan.  

Kutipan perkataan Malala yang menjadi favorit saya dari buku ini: ”Belakangan baru kusadari bahwa menjadi modern tidak dapat dilakukan hanya dengan melepas kerudung”. Seakan hal itu adalah sindiran bahwa ketaatan terhadap perintah agama tidak akan membuat sesorang menjadi kuno. Ilmu yang ada pada diri seorang wanita yang menentukan ia berpikiran modern atau tidak. 

Buku ini adalah buku yang luar biasa bagi mereka yang menyukai sejarah dan biografi tokoh. Beberapa istilah dan singkatan baru memang agak membingungkan namun ada daftar istilah yang akan membantu di bagian akhir buku. Buku ini mempunyai alur dan setting yang sangat baik. Namun, buku ini bukan buku ringan yang bisa dibaca sambil mendengarkan musik. Tetapi kisah Malala sendiri merupakan kisah yang sangat menginspirasi. Membuat saya merasa sangat bersyukur bisa hidup di Indonesia yang menjamin kebebasan hak setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan. Serta menjunjung kesetaraan hak antara pria dan wanita. Negara yang aman merupakan sebuah anugerah yang sangat besar terlepas dari permasalahan-permasalahan lain yang harus dihadapi. Buku yang inspiratif.  

Book Review: Hector And The Search For Happiness




Kebahagiaan adalah cara pandang terhadap sesuatu

Pada awalnya saya ragu membeli buku ini karena beberapa review di goodreads yang tidak terlalu bagus. Apakah ini termasuk genre favorit saya? Apakah buku tentang psikiatri ini cukup mudah dimengerti bagi orang awam? Apakah saya akan mendapat pengetahuan baru dengan membaca buku ini. Tetapi melihat label bestseller dan beberapa review, saya tidak dapat menolak buku ini. Saya termasuk sangat selektif dalam memilih buku. Buku bukan hanya sebuah hiburan bagi saya tetapi juga harus memberi pengetahuan dan mampu menanamkan cara pandang baru terhadap suatu hal. Hector And The Search For Happiness jelas memberi sebuah pengetahuan baru tentang ilmu psikiatri yang selalu terdengar rumit bagi saya. 

Berkisah tentang perjalanan seorang psikiater bernama Hector untuk mencari arti kebahagiaan. Sebagai seorang psikiater yang bertemu banyak orang dengan berbagai permasalahannya, Hector sering bertanya-tanya mengapa seseorang terlihat bahagia sementara yang lain tidak. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki segalanya, karir yang bagus, wajah yang rupawan, kondisi finansial yang baik, masih merasa tidak bahagia? 

Dalam perjalanannya, banyak pelajaran yang Hector dapatkan. Ia mempelajari bahwa kebahagiaan mudah diraih oleh siapa saja. Ia menjadi mengerti mengapa anak-anak selalu mudah tersenyum dan bahagia. Ia menjadi mengerti bahkan kebahagiaan pun mampu diperoleh seseorang yang sedang berada diambang kematiaannya. Sementara, kebahagiaan juga tidak diraih semudah itu bagi sebagian orang, orang-orang yang hidup berkecukupan belum tentu merasa bahagia. 

Ada pelajaran favorit saya dari buku ini, yaitu pelajaran nomor 1: membuat perbandingan bisa merusak kebahagiaan. Namun ternyata hal itulah yang kita sering lakukan, membandingkan hidup kita dengan orang lain. Kita lupa untuk lebih bersyukur atas apa yang kita miliki. Satu lagi adalah pelajaran no 3: Banyak orang yang melihat kebahagian hanya berada di masa depan. Berapa banyak orang yang bekerja keras untuk masa depannya yang dia harapkan bahagia tapi lupa untuk merayakan hidupnya hari ini, terkadang melupakan orang-orang disekitarnya, keluarga, teman-teman serta cintanya. Masa depan memang sepatutnya diusahakan, tapi rayakanlah hari ini karena kita tidak akan tahu apa yang terjadi besok. Apakah kita masih sebahagia hari ini?   

Saya tidak akan menjelaskan semua pelajaran-pelajaran yang Hector dapatkan disini, membaca bukunya akan jauh lebih menarik. Buku ini mudah dimengerti oleh siapa saja. Jujur, saya menjadi lebih banyak tersenyum setelah membaca buku ini. Ketika saya sedih atau marah, mengingat pelajaran dari perjalanan Hector adalah obat yang ampuh. Walaupun ada satu atau dua plot dan setting yang terkadang tidak diceritakan dengan jelas, hal itu tidak mengurangi pesona buku ini. Salute!

Senin, 08 Februari 2016

Book Review Who Moved My Cheese?




Book review kali ini adalah bestseller internasional beberapa tahun yang lalu. Saya mendengar judul buku ini ketika saya masih kuliah namun belum sempat membelinya sehingga kemudian lupa. Secara tidak sengaja baru menemukannya di toko buku bekas baru-baru ini. Karena kecenderungan kita adalah membeli buku-buku terbaru sehingga lupa bahwa buku-buku yang lamapun sama bagusnya. 

Judul buku ini adalah Who Moved My Cheese? Dalam bahasa Indonesia berarti siapa yang memindahkan kejuku? Judulnya menarik, tampilannya pun menarik berwarna kuning seperti cheese. Si penulis, Spencer Johnson mempunyai cara bercerita yang unik, mudah di baca dan dipahami. Bahkan saya dapat mebayangkan membacakannya ke anak-anak saya nanti sebagai cerita motivasi yang sesuai bagi usia mereka. 

Diceritakan bahwa ada empat karakter tikus imajinatif yang menggambarkan diri kita. Sniff yang mampu mencium perubahan, Scurry yang mampu bertindak dengan segera, Hem yang menyangkal dan menolak perubahan, serta Haw yang baru beradaptasi setelah melihat perubahan. Jika kita renungkan, keempat karakter itu akan mudah kita temukan dalam kehidupan sehari. Baik itu teman, keluarga, ataupun diri kita sendiri. Saya bisa tersenyum-senyum sendiri jika mengingat bahwa orang-orang dengan karakter seperti itu ada di sekitar kita. 

Dalam buku ini diceritakan bahwa sesuatu hal yang sangat kita inginkan diumpamakan sebagai cheese. Keempat karakter tikus tadi tinggal di dalam labirin dan berusaha menchari cheese station dimana ada banyak gunungan cheese sebagai makanan mereka. Namun, karena dimakan setiap hari, cheese tersebut semakin berkurang. Karakter yang mampu mencium perubahan dan bergerak cepat akan segera memikirkan tindakan lain sebelum cheese tersebut habis. Sementara karakter yang menolak perubahan akan beranggapan cheese ini banyak sekali dan tidak mungkin habis. Ya begitulah, cerita yang menarik dibagikan ke anak-anak sekalipun. Ada beberapa kutipan favorit yang ingin saya bagikan dari buku ini.
“Memiliki cheese membuat hidupmu bahagia.” Ya, begitulah, memilki sesuatu yang kita inginkan akan membuat hidup kita bahagia. Tetapi berapa lama cheese itu akan bertahan, seberapa banyak cheese yang tersedia, berapa lama sampai cheese itu tidak membusuk. Seberapa inginpun kita memiliki keinginan, perubahan akan selalu ada dan tidak dapat ditolak, kita harus tanggap terhadap hal tersebut. Lalu bagaimana untuk mendorong diri kita berubah, bagaimana jika kita termasuk karakter Hem yang menyangkal perubahan “Membayangkan dirimu menikmati cheese baru, mengarahkanmu kepadanya”. Selalu bayangkan apa yang kita akan peroleh bila tidak takut.

Buku yang menyenangkan dibaca bersama keluarga.:)

Kamis, 19 September 2013

Resensi Pilihan



Berjalan di Atas Cahaya


Judul  : Berjalan di Atas Cahaya
Pengarang : Hanum Salasabiela Rais
Penebit :Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2013
Tebal : 210 halaman
ISBN : 978-979-22-9359-3


Buku ini adalah karya Hanum Salsabiela Rais setelah 99 Cahaya di Langit Eropa. Masih berkisah tentang perjalanan Hanum di eropa namun kali ini bukan sebagai penduduk eropa tetapi dalam rangka liputan ramadhan untuk sebuah stasiun tv. Kisah yang disampaikan Hanum pada buku ini tidak kalah indahnya dengan buku yang pertama. Mengutip pernyataan Hanum, kisah-kisah ini bukan kisah extravaganza tentang kehidupan di eropa tetapi kisah yang mampu mencerahkan batin.
Diantara kisah-kisah tersebut ada kisah bunda Ikoy, seorang perempuan Aceh perakit jam merk ternama di Swiss. Ada pula kisah rapper wanita dari Austria. Penampilannya seperti anak muda kebanyakan, penampilan semau gue, tanpa rias, hijabnyalah yang menjadi identitasnya sebagai seorang muslim. Kejujuran dari desa Neerach yang ditunjukkan melalui kios penjual bunga hingga pengalaman Hanum bertemu dengan orang-orang yang mencari Tuhan. Ya, beberapa orang tahu bahwa Tuhan ada tetapi tak tahu cara mencarinya. Glory, teman Hanum yang satu ini sudah meninggalkan agama nenek moyangnya dan berpindah dari agama satu ke agama lain untuk mencari Tuhan yang dia yakini ada.
Ada pula kisah mualaf-mualaf yang pernah menjadi sahabat Hanum. Ternyata Islam yang selama ini diketahui oleh masyarakat barat sungguh berbeda. Islam bukanlah agama kekerasan. Seorang muslim tidak akan pernah memakai kekerasan walaupun mereka mampu. Keluarga-keluarga muslim adalah laki-laki yang menafkahi keluarganya dengan tanggung jawab serta menjaga harga diri wanita, wanita yang memilih menjadi ibu dibanding mengejar karir duniawi serta istri yang taat pada suami. Sesungguhnya ada balasan yang setimpal dari Allah SWT pada setiap pengorbanan. Islam yang memberikan ketenangan pada pemeluknya.
Sekali lagi, buku ini bukanlah kisah perjalanan mengenai keindahan tanah Eropa, buku ini mengungkap sisi lain Eropa, sisi lain kehidupan masyarakatnya. Bahwa setiap orang akan memperoleh hidayahnya masing-masing dengan cara yang tak terduga. Hanum mengisahkan bahwa keindahan Islam dapat dirasakan sampai daerah terpencil di Eropa dan semua nyata. Keindahan itu bukan hanya dalam mimpi.