Ide ini tiba-tiba muncul ketika saya membaca pengalaman seorang penulis yang memperoleh pengalaman dalam menuangkan gagasan kepada sahabat penanya. Saya kembali teringat pada pengalaman saya saat menulis surat kepada orang-orang terdekat. Waktu itu saya sering menulis surat untuk ayah saya yang berkerja di Natuna, untuk nenek saya di kampung, mengirim kartu lebaran, ataupun mengirim jawaban kuis di majalah anak-anak. Masa itu saya akrab sekali dengan surat menyurat.
Rasanya sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak pergi ke kantor pos untuk mengirim surat. Masa-masa saat saya sering ke kantor adalah saat saya masih sekolah dasar. Saat itu letak kantor pos dekat sekali dengan dengan sekolah, tepatnya berada di belakang sekolah. Kantor pos itu tidak terlalu besar, hanya berukuran 4 x 5 meter, lembab, dan tampak suram karena terletak dibawah rindangnya pohon.
Seingat saya, waktu itu biaya mengirim surat ke ayah saya di Natuna cukup mahal. Suratnya ditimbang dahulu, kemudian baru dihitung biayanya. Sampai sekarang saya tidak mengerti kenapa surat tersebut harus ditimbang, karena biasanya hanya paket barang yang ditimbang. Saat itu sarana untuk menghubungi ayah saya hanya lewat surat, telepon interlokal terlalu mahal harganya walaupun hanya bicara sebentar.
Lain lagi pengalaman saat mengirim surat ke nenek saya di Sumatera Selatan. Hal yang paling saya ingat adalah bahasa yang digunakan, saya menyebut nenek saya nenenda dan saya sendiri cucunda. Sampai saat ini saya masih ragu, apakah ada istilah nenenda dan cucunda dalam bahasa Indonesia yang benar. Saya juga berusaha membuat bahasanya sesopan mungkin. Biasanya isi surat tersebut mengabarkan bahwa bisa atau tidaknya kami sekeluarga pulang kampung lebaran nanti. Balasan surat dari nenek saya tak lain menggunakan bahasa daerah, akhirnya ibu sayalah yang bertugas membacakan sambil menerjemahakan agar saya mengerti. Desa tempat tinggal nenek saya merupakan desa terpencil, tidak ada telepon disana, jadi surat menyurat adalah satu-satunya jalan.
Selain surat-menyurat dengan keluarga, pos juga saya gunakan untuk mengirim kartu lebaran dan kartu pos. Saya senang mengirim kartu pos yang berisi jawaban kuis di majalah anak-anak, walaupun hadiahnya tidak seberapa. Sayangnya saya tidak pernah menang dalam kuis apapun yang saya ikuti, sampai saya ragu apakah kartu pos saya benar-benar sampai.
Sepuluh tahun kemudian, hari ini saya teringat kembali akan pengalaman saya. Sayang sekali saya tidak sempat merasakan mengirim telegram atau wesel. Keduanya hanya teori saat sekolah dasar, bahwa telegram dihitung biayanya berdasarkan huruf. Kemudian muncul pertanyaan, apakah pak pos masih bekerja sekarang, apakah PT Pos harus melakukan pengurangan pegawai, dan lain-lain. Pertanyaan pertama akhirnya terjawab saat saya ingat kembali, saya pernah mendapat kiriman paket dari orangtua saat saya kuliah di luar kota, kemudian saya juga pernah mengirim paket untuk orangtua saya. Kalau tidak diburu waktu, pos akan menjadi pilihan utama karena biayanya lebih murah. Saat ini pos memiliki banyak saingan dari berbagai macam perusahan swasta yang menyediakan jasa pegiriman kilat. Yang paling cepat bisa sampai dalam 3 jam. Semoga masih ada orang yang rindu akan cara ‘tradisional’ menyampaikan berita, sehingga Pak Pos masih dapat bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar